Menemukan Kelas di Sudut-Sudut Tak Terduga
Kita sering menganggap “kelas” sebagai ruang dengan empat dinding, papan tulis, dan deretan meja kursi. Tapi, pernahkah kita membayangkan bahwa kelas yang paling berkesan justru bisa berada di luar sana—di pasar tradisional, sungai di belakang sekolah, bengkel tukang kayu, atau bahkan halte bus?
Inilah inti dari alat baru bernama Designing Learning Paths, yang dikembangkan oleh peneliti Project Zero, Daniel Wilson. Alat ini mengajak kita, para pendidik, untuk melihat sekeliling dengan mata yang berbeda. Ia menantang kita untuk memetakan “jalur belajar” dengan memanfaatkan tempat-tempat menarik di lingkungan sekitar sekolah yang sering kali luput dari perhatian.
Riset Wilson melalui Designing Learning Places Lab selama bertahun-tahun telah menemukan bahwa lingkungan belajar yang baik jauh melampaui ruang kelas konvensional. Menurutnya, “keajaiban sebenarnya” dalam pendidikan terjadi ketika terbentuk segitiga yang kokoh antara tiga unsur utama:
- PURPOSE (Tujuan): Apa tujuan pembelajaran yang ingin dicapai? Kompetensi apa yang ingin dikembangkan?
- PRACTICE (Praktik): Strategi pedagogi apa yang akan digunakan? Bagaimana proses belajar akan dijalankan?
- PLACE (Tempat): Di mana semua itu akan terjadi? Lingkungan seperti apa yang akan mendukungnya?
- Konteks nyata yang membuat pembelajaran otentik dan bermakna.
- Sumber daya unik (bahan, suasana, interaksi sosial) yang tidak bisa direplikasi di dalam kelas.
- Rangsangan sensorik yang berbeda, memperkuat memori dan pemahaman.
- Aturan dan dinamika sosial alami yang melatih kecakapan hidup siswa.
- Tempat sebagai Sumber (Source): Tempat menjadi bahan kajian langsung. Misalnya, mempelajari ekosistem, sosial budaya, atau geometri dari struktur bangunan di tempat tersebut.
- Tempat sebagai Katalis (Catalyst): Tempat memicu pertanyaan dan rasa ingin tahu yang mendorong penyelidikan. Suasana, masalah, atau keunikan suatu lokasi menjadi pemicu proyek belajar.
- Tempat sebagai Mitra (Partner): Tempat menawarkan interaksi timbal balik. Siswa tidak hanya mengambil, tetapi juga memberi—misalnya dengan mendokumentasikan cerita, merancang perbaikan, atau berkontribusi pada komunitas di tempat itu.
- Tempat sebagai Cermin (Mirror): Tempat membantu siswa merefleksikan identitas, nilai, dan hubungan mereka dengan dunia yang lebih luas. Bagaimana posisi mereka dalam lingkungan itu? Apa peran mereka?
- Purpose: Memahami konsep ekonomi sederhana (transaksi, supply-demand), mengasah kemampuan komunikasi dan observasi.
- Practice: Wawancara dengan pedagang, observasi pola interaksi, proyek kecil membuat "usaha" jual-beli sederhana.
- Place: Pasar tradisional dengan segala keriuhan, tawar-menawar, dan jejaring sosialnya.
- Jalan-jalan dan Amati: Kelilingi lingkungan sekolah. Catat tempat yang punya karakter kuat—bisa berupa taman, tempat ibadah, pusat kerajinan, atau sudut kota yang penuh cerita.
- Tanyakan pada Kurikulum: Tujuan pembelajaran apa yang cocok ‘dipindahkan’ ke tempat itu? Mana yang akan lebih efektif jika dialami, bukan hanya dibaca?
- Pilih Peran Tempat: Mau pakai tempat sebagai Sumber, Katalis, Mitra, atau Cermin? Atau kombinasikan?
- Rancang Pengalamannya: Strategi belajar seperti apa yang cocok dengan tempat pilihan? Diskusi kelompok di lokasi? Dokumentasi foto? Eksperimen kecil? Wawancara?
- Coba dan Refleksikan: Lakukan, lalu diskusikan dengan siswa. Apakah ‘keajaiban’ segitiga purpose-practice-place terasa? Apa yang berhasil dan apa yang perlu disesuaikan?
.jpg)

